Hubungan Ilmu Agama dan Sains
Hubungan
Ilmu Agama dan Sains [1]
Setelah
umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang
telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance.
Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang
ilmu tersebut.
Tidak
hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun
sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo
(L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan
mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang
bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus
bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui
observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat
jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.
Pemberian
hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin
agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun
menuju ilmu pengetahuan sekuler.Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis
membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak
relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan
dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini
tidak ada yang sakral).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi
rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat
pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan.
Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah
empiris (pengalaman).
-
Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai
atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu
“memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.
Kondisi
inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam
mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan
adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan
muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki
dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat
dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan
normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam
realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika
usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari
sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang
islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide:
“Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan
akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat
sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.
Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan
sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi,
tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan
cendekiawan muslim.
Tokoh
yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang
hijrah ke Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang
dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu
tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan
iman.
Upaya
yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi
Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan
Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi.
Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang
terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan
hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah
yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman,
dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas
prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh.
Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
- Dalam pandangan Islam, alam
semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung
nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan
“maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.
“Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban
dari Tuhan.
- Ilmu pengetahuan adalah produk
akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya.
Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula
oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
- Dalam pandangan Islam, proses
pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri,
tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio
dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta,
sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau
nilai.
- Dalam pandangan Islam realitas
itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau
metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui
sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik
dan empiris transenden.[2]
Azyumardi
Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat
dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat
seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah,
mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu
juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan
ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan
ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan
Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki
hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa
Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid
Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah
sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam
memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal
dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah
berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Kuntowijoyo
menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia
(other worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan Alquran
dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah
dan qauniyah dapat dipakai.
Integrasi
yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum
dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan
tersebut.
Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
(1)
Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara
dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif
dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua
ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari
dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri ….
Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi
ditaklukkan oleh sains.[3]
(2)
Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah
(Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan
qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum
alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan
makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora
(ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).
Amin
Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan
memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya
ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas
yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah
adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri …. maka
dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan
saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam
sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
-
Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang
lainnya.
-
Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada
kemungkinan berat sebelah.
-
Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan,
kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia
mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang
lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada
diri sendiri.
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi
dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang
natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun
demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai
perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi
semua orang.
Contoh
konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang
prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mud{a>rabah) dan
kerja sama (al-Musya>rakah). Di sini Islam mengalami objektivitas
dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik
muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja
keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik
dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi,
sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan
internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.[4]
Perbedaan
pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal
hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan
pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi
lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,
sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan
metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai
keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling
bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari
uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan
ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
-
Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang
terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat
alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau
diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
-
Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen
penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap
hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan
Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi.
-
Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan
kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan
sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
“Sebab saya kira pastilah
mustahil menjelaskan pikiran berdasarkan aktivitas – aktivitas saraf di dalam
otak karena saya kira, pikiran itu berkembang dan menjadi matang secara mandiri
di sepanjang masa hidup individu seolah – olah ia adalah unsur yang
berkekanjutan, karena sebuah komputer (dan otak adalah komputer) harus diprogram
dan dioperasikan oleh pelaku yang mampu memahami secara mandiri, saya cenderung
memilih pandangan yang mendukung pendapat bahwa wujud kita mestilah dijelaskan
atas dasar dua unsur dasar … pikiran dan otak sebagai dua unsur yang masing –
masing semi mandiri”
(Wielder Penfield, ahli
bedah terkemuka asal Kanada)
Hal yang menarik dari tulisan Mehdi
Golsyani adalah penegasannya, dan pemaparannya mengenai kedudukan ilmu.
Menurutnya ilmu adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya untuk dapat
mengenali-Nya. Jika ada sesuatu yang disebut “ilmu”, namun tidak membawa
seseorang mengenali-Nya pastinya adalah kesia-siaan. Mengacu kepada hadits, “buahnya
ilmu adalah ibadah”.
Spektrum ilmu seperti yang dimaksud
diatas sejatinya amatlah luas. Bukan sekedar ilmu agama saja, namun juga
melingkupi semua pengetahuan yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhan –
Nya. Kalaupun ada yang disebut ilmu agama, dan sains itu semata hanyalah
persoalan pembagian ilmu. Sebagaimana sebuah mata uang, dimana satu dengan yang
lainnya saling melengkapi. Keduanya berusaha menangkap tanda ilahi yang dalam
istilah Syed Hossein Nasr sebagai jejak ilahi (Vestigia Dei). Cara
pandang seperti inilah yang membuat muslim pada beberapa abad yang lalu menjadi
mercusuar kemajuan sains.
Sementara itu pandangan modern
(Barat) yang menegaskan ilmu atau sains adalah sesuatu yang bersifat empirik
saja sesungguhnya telah “mengkebiri” sains itu sendiri. Menurut Mehdi hal ini
bisa terjadi karena dua hal, pengabaian terhadap kemampuan sains oleh para
ilmuwan yang dianggap terbatas, dan campur tangan yang tak semestinya dari para
otoritas agama dalam persolan saintifik. Belakangan pendapat ini mendapatkan
banyak kritik dari banyak tokoh seperti Karl Popper dll.
Menurut Mehdi, kajian tentang alam
mencakup baik unsur fisika maupun metafisika, dan semua bidang ilmu pengetahuan
dipandang sebagai cabang – cabang dari sebuah pohon yang tunggal yang akarnya
adalah metafisika Islam. Dengan demikian seluruh ilmu adalah penting.
Lalu bagaimana hubungan agama dan
sains? Menurut Mehdi, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan
tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah
mengungkapkan ayat – ayat Tuhan dan sifat – sifat – Nya kepada manusia. Dengan
demikian menurutnya kegiatan observasi sains pada hakikatnya kewajiban agama
dengan syarat telah memiliki modal iman kepada Tuhan[5].
Dengan adanya Iman menurut Mehdi,
kegiatan sains dapat memperkuat iman, dan menjadikan motivasi untuk
mengungkapkan sesuatu yang dapat menambah pengenalan terhadap Tuhan sebagai
pusat dari kesatuan eksistensi (tauhid). Dalam bukunya Mehdi banyak menyitir
beberapa ayat dalam alquran yang ia interpertasikan sebagai isyarat
epistemologi dalam Islam. Baginya ayat – ayat ini merupakan sebuah inspirasi
dan dorongan untuk memahami sains lebih baik lagi.
Kutipan diatas adalah salah satu
pendapat Penfield, seorang ahli saraf yang sangat terkenal di masanya. Sempat
empat kali menjadi nominator hadiah Nobel. Pendapatnya ini menegaskan
keterbatasan sains modern (Barat) yang hanya membatasi ilmu hanya yang empirik
saja. Dia menyakini ada sesuatu yang immaterial yang bekerja mempengaruhi kehidupan
manusia, bukan pada otaknya saja, melainkan sesuatu yang immaterial. Jauh
sebelumnya Ibn Sina telah menyebutkan hal ini dan membuktikannya secara
demonstrative (burhan) dalam kitab al – Isyarat. Wallahu’lam
[1]
Tugas Mata Kuliah New Theology, ICAS – Paramadina, oleh Ahmad Taufiq, Semester
1-2011
[2]
Syed Hossei Nasr, Islamic Sciences: An Illustrated Study (London: World
of Islam Festival Publishing Co. Ltd., 1976), hal. 59
[3]
Golshani, Mehdi, Issues in Islam and Science, diterjemahkan oleh
penerbit Mizan, Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains – Tafsir Islami atas Sains,
hal. 8
[4]
Ibid, hal. 3. Imam Suprayogo, Membangun
Integrasi Ilmu dan Agama. Pengalaman UIN Malang. Zainal Abidin Bagir, (ed),
op,cit, h.49 – 50.
[5]
Ibid, hal. 8. Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama,
Interprestasi dan Aksi, (bandung: Mizan, 2005) h, 50-51.